Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.

Keadilan Menurut Kemanusiaan dan Distribusi Antroposentris Behavioral

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
dpc peradi tasikmalaya Asas Keadilan | DPC PERADI TASIKMALAYA
Iklan

Konsep keadilan dalam teori hukum dan filsafat sering dipahami melalui kerangka rasionalitas formal: hak, kewajiban, sanksi, serta distribusi.

 

awe

Ahmad Wansa Al-faiz


Konsep keadilan dalam teori hukum dan filsafat sering dipahami melalui kerangka rasionalitas formal: hak, kewajiban, sanksi, serta distribusi sumber daya. Namun, di luar kerangka legal-formal, keadilan juga dapat ditinjau melalui pendekatan antroposentris behavioral, yakni bagaimana perilaku manusia dalam kehidupan sosial diwarnai oleh cinta dan kasih sayang. Perspektif ini menekankan bahwa keadilan bukan semata-mata produk kalkulasi normatif, melainkan juga hasil dari empati manusia terhadap sesamanya.

Perspektif Filsafat

John Rawls dalam A Theory of Justice (1971) menekankan pentingnya prinsip keadilan distributif yang adil bagi semua orang, terutama mereka yang berada pada posisi paling lemah dalam masyarakat.[1] Namun, jika ditinjau lebih dalam, prinsip Rawls yang berbasis pada veil of ignorance hanya akan bekerja optimal bila dilengkapi dengan kasih sayang sebagai dorongan moral, sebab distribusi yang adil tidak mungkin terwujud tanpa adanya empati manusia terhadap penderitaan sesamanya.

Sementara itu, Martha C. Nussbaum melalui pendekatan capabilities approach mengaitkan keadilan dengan kemampuan manusia untuk hidup bermartabat, mengembangkan diri, dan merasakan kasih sayang dalam relasi sosial.[2] Nussbaum menunjukkan bahwa distribusi keadilan harus menekankan dimensi manusiawi yang tak terukur oleh angka-angka ekonomi semata.

Basis Etika Keadilan

Dalam tradisi Islam, konsep rahmah (kasih sayang) menjadi fondasi hukum dan etika. Al-Qur’an menggambarkan Nabi Muhammad ﷺ sebagai “rahmatan lil-‘alamin” (rahmat bagi seluruh alam) (QS. Al-Anbiya: 107). Konsep ini menegaskan bahwa keadilan dalam Islam tidak boleh lepas dari dimensi kasih sayang, sebab tanpa kasih, hukum hanya akan menjadi instrumen kekerasan yang kehilangan makna kemanusiaan.[3]

Pemikir kontemporer seperti Fazlur Rahman menekankan bahwa syariat Islam pada hakikatnya berorientasi pada keadilan sosial dan perlindungan martabat manusia, bukan sekadar aturan formal.[4] Artinya, cinta dan kasih sayang adalah roh keadilan, sementara teks hukum hanyalah sarana untuk mencapainya.

Aplikasi dalam Sistem Hukum dan Sosial

Dalam praktik hukum modern, pendekatan - restorative justice - adalah contoh nyata keadilan berbasis kasih sayang. Restorative justice berupaya memulihkan hubungan sosial, memberi ruang bagi korban, pelaku, dan masyarakat untuk berdialog, dan mencari solusi yang lebih manusiawi dibanding hukuman semata. Hal ini sejalan dengan pandangan Aristoteles tentang keadilan korektif, tetapi dilengkapi dimensi empati.

Dalam ranah sosial, distribusi keadilan berbasis cinta berarti membuka ruang partisipasi masyarakat, mendengar suara korban, serta memastikan kebijakan publik tidak kehilangan wajah manusiawinya. Sebab, keadilan yang dingin tanpa cinta hanya akan melahirkan alienasi antara rakyat dan negara.


Keadilan menurut kemanusiaan adalah keadilan yang hidup dalam perilaku manusia sehari-hari. Dengan - distribusi antroposentris behavioral -, keadilan tidak lagi dilihat sekadar sebagai rumus matematis tentang hak dan kewajiban, melainkan sebagai ekspresi cinta dan kasih sayang antar sesama manusia. Dalam perspektif Rawls, Nussbaum, maupun etika Islam, keadilan sejati selalu berpihak pada martabat manusia dan kelompok yang lemah. Tanpa cinta, hukum kehilangan rohnya; tanpa kasih sayang, keadilan hanyalah mekanisme dingin tanpa makna.


Sumber Tulisan.

[1]: John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971).

[2]: Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011).

[3]: Al-Qur’an, Surah Al-Anbiya: 107.

[4]: Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982).


 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler